Powered By Blogger

Sabtu, 27 November 2010

PANGGILAN TRANSFORMASI



Transformasi Individu
Transformasi adalah perubahan (change). Contohnya adalah perubahan dari kanak-kanak menjadi remaja dan akhirnya dewasa. Contoh lain adalah perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Indonesia sekarang sudah mengalami perubahan, menuju kehidupan yang lebih demokratis. Tanda-tanda perubahan itu cukup kentara seperti hilangnya kepemimpinan yang otoriter-militeristik dan sistem pemilu yang bersifat langsung. Secara etimologis, transformasi berasal dari kata dasar “trans” dan “form”. Trans berarti berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya (accros) atau  melampaui (beyond). Adapun form berarti bentuk. Jadi, transformasi adalah perubahan bentuk yang melebihi sekedar perubahan bungkus luar saja (Santoso, 2003). Berbicara soal transformasi atau perubahan pada tingkat individu, Alkitab memberi prinsip yang jelas sebagaimana ditandaskan Paulus dalam surat Roma 12:2; Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah (transformed) oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Tuhan: apa yang baik, yang berkenan kepada Tuhan dan yang sempurna. (LAI) And be not conformed to this world: but be ye TRANSFORMED (metamorfoo) by the renewing (anakaheenosis) of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God. (KJV). Kata “berubah” mengacu pada kata “transformed” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa asli Alkitab Perjanjian Baru (Yunani) kata yang dipakai adalah metamorfoo. Ini sama dengan metamorphose yang berarti perubahan (change), perubahan bentuk (transfigure, transform). Contohnya adalah metamorfose dari wujud ulat, berubah menjadi kepompong, dan akhirnya berubah menjadi seekor kupu-kupu. Sebuah perubahan bentuk yang jelas. Begitulah perubahan manusia di dalam Kristus. Ia menjadi ”ciptaan baru” yang memiliki ”kodrat baru”. Manusia percaya juga mengalami transformasi yang terus-menerus, dikuduskan terus-menerus (progressive sanctification) sampai akhirnya menjadi serupa dengan Kristus.
Dalam konferensi World Evangelical Fellowship yang dikenal dengan sebutan “Wheaton 1983”, transformasi individu di dalam Kristus didefinisikan sebagai berikut: “…transformation is the change from a condition of human existence contrary to God’s purposes to one in which people are able to enjoy fullness of life in harmony with God (John 10:10; Col 3:8-15; Eph 4:13). This transformation can only take place through the obedience of individual and communities to the Gospel of Jesus Christ, whose power changes the lives of men and women by releasing them from the guilt, power and consequences of sin, enabling them to respond with love toward God and toward others (Rom 5:5) and making them “new creatures in Christ” (2 Cor 5:17).
Jadi transformasi individu di dalam Kristus adalah sebuah proses yang bersifat illahi. Perubahan hanya terjadi ketika orang percaya kepada Injil dan menerima Roh Kudus yang menjadikan kita ciptaan yang baru.

Transformasi Masyarakat
Alkitab menandaskan bahwa transformasi tidak hanya bisa terjadi pada level individu, tetapi juga masyarakat-bangsa. Perubahan tidak eksklusif pada individu. Kasih Tuhan ditujukan juga kepada komunitas, suku, bangsa, dan keseluruhan dunia yang berdosa ini (Santoso, 2003). Hal itu sangat jelas dari perintah Yesus: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua BANGSA murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20).
Tuhan berjanji akan “memulihkan negeri” (heal the land). Hal ini berbicara tentang transformasi yang hendak Tuhan kerjakan dalam kehidupan sebuah masyarakat, kota, atau bangsa. Janji Tuhan untuk memulihkan negeri itu pernah disampaikan-Nya dengan jelas ketika menampakkan diri kepada raja Salomo: “Dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta MEMULIHKAN NEGERI mereka” (2 Taw 7:14). Tuhan bukan hanya memperhatikan pribadi lepas pribadi, tetapi juga komunitas lepas komunitas. Kota demi kota. Bangsa demi bangsa. Kerinduan Tuhan untuk menyelamatkan sebuah komunitas (masyarakat) terlihat dalam kasus dua kota. Pertama, kota Sodom yang jahat dan najis. Tuhan berkata kepada Abraham bahwa Ia tidak akan menghukum (memusnahkan) kota itu jika ada minimal 10 orang benar yang ada di kota tersebut (Kej 18:32). Meskipun pada akhirnya Sodom (dan Gomora) dihukum karena tidak memenuhi kuota yang disyaratkan itu, Tuhan sudah menyatakan kepedulian-Nya atas masyarakat tersebut.
Kedua, kota (bangsa) Niniwe. Melalui nabi Yunus, Tuhan mengultimatum hukuman untuk kota Niniwe. Demikian Firman-Nya, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan!” (Yun 3:4). Apa yang dilakukan orang-orang Niniwe? Ternyata mereka, dari raja sampai seluruh rakyatnya, percaya kepada Tuhan, bertobat, dan berdoa puasa (Yun 3:5-9). Maka Tuhan pun tidak jadi menghukum kota itu. Alkitab mencatat: “Ketika Tuhan melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka MENYESAL-lah Tuhan karena malapetaka yang telah dirancankan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak melakukannya (Yun 3:10). Pencabutan hukuman itu membuat Yunus kecewa (Yun 4:1). Tapi Tuhan justru menegaskan bahwa Ia mengasihi kota Niniwe, kata-Nya, “Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari 120 ribu orang, yang semuanya tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” (Yun 4:11). Rupanya Yunus justru ingin Niniwe dihukum sebab Niniwe (Asyur) adalah musuh Israel. Kebencian itu muncul karena rasa nasionalisme Yunus. Namun, di sini justru Tuhan menyatakan cintanya akan bangsa-bangsa.
Masalah masyarakat begitu banyak, mulai dari masalah kemiskinan, keterbelakangan, kriminalitas, dan sebagainya. Berbicara soal transformasi masyarakat, konsepnya holistik. Artinya, bukan hanya perubahan yang bersifat spiritual tetapi juga non spiritual. Transformasi masyarakat lebih dari sekedar proses terjadinya pertobatan dan perbaikan kehidupan rohani, tetapi juga pemulihan dalam segala bidang. Hal itu berimplikasi pada tugas Gereja yang bukan hanya memberitakan Injil saja. Gereja harus melaksanakan “misi sosial” untuk membangun kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, seperti pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan.
Sebagaimana ditegaskan Prasadja (2003), konsep transformasi masyarakat lebih luas dari konsep penginjilan semata. Konsep transformasi ini tidak membatasi diri dengan hanya mengubah manusia berdosa menjadi manusia lahir baru di dalam Kristus. Transformasi adalah mengubah dan mengembalikan manusia kepada harkat dan martabatnya sesuai dengan maksud Tuhan ketika manusia itu diciptakan. Dengan konsep transformasi masyarakat seperti itu, transformasi merupakan sebuah proses yang tidak henti (never ending process). Fokus transformasi adalah “proses”. Prasadja (2003) menegaskan bahwa kita, Gereja-Nya sedang dalam proses mewujudkan visi Tuhan tersebut. Kerajaan Tuhan sudah datang, sedang dimulai (inagurated), sedang ada, dan akan dipenuhi atau digenapi (fulfiled).
Mengapa transformasi masih merupakan proses? Pertama, sampai Kedatangan Kristus Kedua Kali (KKKK), iblis masih belum dihukum secara total. Iblis masih diijinkan Tuhan berkuasa di muka bumi (1 Yoh 5:19). Karena itu, dunia masih menjadi sebuah medan peperangan rohani antara Gereja-Nya dengan roh-roh jahat (Ef 6:12). Ketika Gereja bertekun dan berjuang melawan setan-setan dalam doa dan syafaat, transformasi terjadi di kota-kota. Namun, ketika Gereja undur, transformasi yang sudah tercapai bisa saja kendur. Jadi, harus berjuang secara terus-menerus.
Kedua, pemulihan total baru akan terjadi pada masa Kerajaan Seribu Tahun (KST) setelah KKKK. Pada masa itulah Yesus akan memerintah di muka bumi selama seribu tahun bersama orang-orang percaya. Bumi akan dipenuhi kedamaian dan kemakmuran secara total. Jadi, transformasi yang terjadi sekarang belum merupakan suatu kondisi seperti pada masa KST tersebut.

Transformasi Via Doa
Mengapa transformasi yang diharapkan itu belum juga terjadi secara signifikan di dalam masyarakat kita? Jawabannya adalah ada pada kita. Untuk mengalami janji-janji Tuhan, termasuk janji transformasi, Gereja harus melakukan dua hal yang merupakan satu paket: berdoa dan bekerja (ora et labora). Setiap kegerakan rohani selalu dimulai dengan doa. Gereja pertama pun dimulai dari doa (Kis 1:14) yang diikuti dengan pencurahan Roh Kudus pada Pentakosta (Kis 2). Transformasi yang terjadi di Cali, Almalonga, Kiambu, dan lain-lain juga didahului oleh gerakan-gerakan doa yang luar biasa.
Doa sebagai preseden transformasi terlihat jelas pada peristiwa transformasi berikut ini. Pada 1949 terjadi sebuah revival di daerah kepulauan Hebrides, Skotlandia, yang dipicu oleh kegiatan doa yang dirintis oleh dua orang wanita yang masih bersaudara: Peggy Smith dan Christine Smith. Beberapa kali dalam seminggu mereka berdoa sampai larut malam demi memohonkan kebangunan rohani untuk masyarakat. Aktivitas doa dua wanita itu mengilhami tujuh pendeta gereja-gereja setempat untuk ikut bersatu dalam doa bersama. Mereka semua lantas melakukan gerakan doa syafaat selama beberapa bulan. Salah satu di antara mereka adalah Duncan Chambelll, yang setelah revival terjadi ia menjadi tokoh terkenal. Apa yang terjadi setelah gerakan doa kesatuan (united prayer) itu? Pada pertengahan 1949, Tuhan melawat masyarakat kepulauan Hebrides itu secara supranatural. Ketika ketujuh pemimpin itu sedang berdoa di sebuah lumbung desa sampai larut malam, tiba-tiba ada cahaya illahi menerangi kawasan pertanian itu. Tuhan datang seperti tiupan angin yang dahsyat. Bumi pun berguncang tanpa sebab. Piring-piring dan gelas-gelas bergetaran karena gempa bumi adikodrati. Semua kejadian itu terlihat secara kasat mata dan terasa jelas secara fisik. Kemuliaan Tuhan yang turun di atas kawasan Hebrides itu mendorong seluruh masyarakatnya untuk berdoa. Mereka menyeru nama Yesus dan memohon pengampunan. Pada jam 04.00 pagi, ratusan orang dari desa-desa sekitar mendatangi pusat pencurahan Roh Kudus itu. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka merasa seperti ditarik oleh suatu kekuatan surgawi yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Dalam waktu singkat pertobatan massal terjadi.
Setelah melakukan pengamatan dan studi komparasi atas beberapa kasus transformasi, George Otis Jr menarik kesimpulan bahwa proses transformasi (rohani) masyarakat/komunitas itu terjadi melalui tiga tahap. Pertama, tahap pembangunan “pangkalan rohani” (spiritual beach) yaitu tahap terjadinya kesatuan Gereja, pertobatan korporat Gereja, kesatuan doa, dan tindakan Gereja untuk melakukan rekonsiliasi sosial. Kedua, tahap “terobosan rohani” (spiritual breakthorugh), yaitu momentum (kairos) pada saat Tuhan (Roh Kudus) melakukan penetrasi sedemikian rupa sehingga terjadi kebangunan rohani besar yang menyentuh kehidupan masyarakat luas. Ketiga, tahap “pembaruan”, yaitu terjadinya pembaruan sosial-politik dan berbagai dimensi lain dalam kehidupan masyarakat.
Kebangunan Kristen (gereja) pertama yang berdampak pada pembaruan masyarakat saat itu juga terjadi melalui tahapan-tahapan seperti itu. Pertama, umat bersatu dalam doa yang sehati (Kis 1:14). Kedua, terobosan rohani terjadi melalui pencurahan Roh Kudus (Kis 2). Ketiga, pembaruan rohani terjadi, jiwa-jiwa bertobat (Kis 2:14-41). Selanjutnya, masyarakat pun banyak mengalami pertobatan, Kadang, penetrasi illahi terjadi dalam bentuk peristiwa-peristiwa spektakuler. Jadi, peristiwa spektakuler seperti bencana alam dahsyat dapat merupakan suatu manifestasi kuasa Tuhan yang membuka jalan menuju transformasi. Hal itu teramati dalam peristiwa gempa bumi yang dicatat Alkitab sebagai berikut (Kis 16:20-31). Di penjara, Paulus dan Silas melancarkan gerakan doa (Kis 16:25-26). Kemudian, terjadilah terobosan rohani yang berupa manifestasi gempa bumi. Peter Wagner melihat bahwa gempa yang terjadi kala itu bukanlah gempa biasa (unusual earthquake). Melalui peristiwa supranatural itu, rasa takut akan Tuhan mencengkeram jiwa-jiwa. Secara psikologis, kepala penjara menjadi takut kalau-kalau semua tawanan lepas (Kis 16:27). Dalam kondisi psikologis seperti itu, ia menjadi putus asa, gemetar, dan tersungkur (Kis 16:29). Itulah jalan masuk (peluang) bagi Paulus dan Silas untuk akhirnya membawa dia dan keluarganya kepada Kristus.

Transformasi Via Tindakan (Bekerja)
Peristiwa gempa yang tidak biasa di atas diikuti oleh pertobatan jiwa-jiwa. Tetapi, tidak terjadi begitu saja. Untuk sampai pada kondisi itu, ada peran yang dilakukan Paulus dan Silas. Roh Kudus telah melancarkan “terobosan rohani” yang secara fisik terasa sebagai gempa itu. Artinya, Roh Kudus membuka akses. Dan kemudian Paulus dan Silaslah yang harus bertindak. Pertama, Paulus menenangkan hati kepala penjara yang ketakutan itu dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan melarikan diri (Kis 16:28). Hal itu berarti Paulus (dan juga semua orang percaya) harus bisa menunjukkan sifat-karakter-sikap yang baik di masyarakat. Kedua, Paulus berbicara tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus (Kis 16:31). Ketiga, Paulus memberitakan Firman secara lebih lengkap kepada komunitas yang ada (Kis 16:32). Mandat penginjilan yang dilakukan oleh Paulus dan Silas pada saat Roh Kudus melakukan “terobosan rohani” itu mengakibatkan transformasi rohani sebagai berikut. Pertama, Paulus dan Silas menerima kompensasi atas perlakuan buruk yang telah mereka terima (Kis 16:33a). Kedua, orang-orang bertobat dan memberi diri untuk dibaptis (Kis 16:33b). Ketiga, Paulus dan Silas menerima perlakuan baik berupa pemberian makanan (Kis 16:34a). Keempat, orang-orang mengalami sukacita illahi (Kis 16:34b). Kelima, Paulus dan Silas dilepaskan dan dibebaskan dari hukuman (Kis 16:37). Keenam, para pemimpin masyarakat Filipi meminta maaf dan menjadi ketakutan setelah Paulus berbicara (Kis 16:40). Jemaat Kristen di Filipi pun mendapat nama baik dan penghormatan.
Jadi, transformasi menuntut bagian yang dikerjakan oleh Gereja. Bagian yang Tuhan lakukan jelas, yaitu lawatan Roh Kudus, penetrasi Roh Kudus, terobosan illahi. Sedangkan bagian yang dilakukan oleh Gereja adalah berdoa dan bekerja. Sebenarnya, Tuhan sudah banyak menjawab doa-doa kita. Roh Kudus sudah sering melancarkan terobosan sehingga kesempatan terbuka (kairos). Tetapi, karena agen-agen transformasi kita kurang sikap dan kurang cekatan dalam bertindak, kesempatan demi kesempatan itu lenyap begitu saja. Hammond (2003) mengingatkan betapa seringnya Gereja melepaskan kesempatan (kairos) begitu saja. Dulu Kaisar Kublai Khan (1215-1294) pernah mendengar Injil dan berpesan supaya didatangkan 100 misionaris untuk mengajarkan kekristenan di wilayahnya. Namun pada 1271, hanya ada 2 misionaris yang datang, itu pun datang langsung pulang karena ketakutan. Akibatnya, Kublai Khan mendeklarasikan agama lain sebagai agama resmi di kerajaannya. Jika kita ingin melihat masyarakat mengalami transformasi, orang-orang Kristen bersama masyarakat tidak boleh berpangku tangan. Tidak cukup hanya berdoa dan berseru saja. Kita harus bertindak menjadi agen-agen transformasi untuk membangun di segala bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidilan, hukum, iptek, dst). Orang Kristen tidak boleh eksklusif, namun harus berkarya di segaa bidang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar